Senin, 22 Desember 2008

Korelasi Hukum Termodinamika dan Agama dalam kehidupan Manusia

“Dan tegakkanlah keseimbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi keseimbangan itu” (Q.S ar-Rahman:9)

Prof. Dr. Utoro yahya, M.Sc, dalam setiap menyampaikan kuliahnya selalu menekankan kepada para mahasiswanya untuk selalu menjaga keseimbangan antara rohani dan jasmani. Menurut guru besar kimia UGM ini, manusia tak ubahnya sebagai sistem dan lingkungan dalam materi kimia sehingga keberadaannya bisa dikenakan hukum-hukum termodinamika, khususnya hukum kedua. Manusia dalam kehidupan sehari-hari cenderung berperilaku “ngawu” dan menuju “derajat binatang. Fenomena-fenomena yang terjadi di longkungan sekitar kita membawa kebenaran akan dalil hujum kedua termodinamika. Tengoklah! Kejadian yang mengkungkung ranah kehidupan kita, mulai dari politik, masyarakatnya, perilaku kaum mudanya, menunjukkan masyarakat ini tengah menuju ke arah ketidakteraturan. Jika ketidakteraturan ini tidak segera ditangani atau setidaknya ada penyekat untuk mengontrol” energi sis-sia” itu, niscaya alam semesta ini tengah meluncur ketengah ketidakteraturan yang lebih besar yang sering disebut dengan kiamat. Kiamat dalah wujud nyata dari ketidak teraturan alam semesta, semua komonen yang menyusun makrokosmos ini sudah tidak berjalan sebagaimana mestinya. Ketidakteraturan ini dalam al-Quran digambarkan sebagai “kekacuan yang dahsyat”, manusia beterbangan bagaikan anai-anai atau”gabah den interi”, gunung-gunung beterbangan bagaikan bulu yang dihamburkan.
Kembali kepada perilaku manusia. Meskipun manusia adalah makhluk yang diciptakan sebagai makhluk yang sempurna tetapi perlu diketahui bahwa bahan dasar manusi adalah tanah bahkan Allah mengatakan “dari lumpur yang hitam” dan dikeluarkan dari saluran kencing. Manusia merupakan makhluk yang berada ditengah-tengah tingkatan (derajat)makhlik Allah yaitu derajat malaikat dan derajat syetan serta binatang. Kebaradaan ini memungkinkan manusia nisa tergelincir kedalam tingkata-tingkatan tersebut. Bila manusia bisa menjaga perilaku atau energi yang Allah berikan kepadanya niscaya manusia akan mencapai derajat “kemalaikatan” atau derajat “ahsanu taqwim”.akan tetapi jika sebaliknya manusia tak mampu mengendalikan energi tersebut bererti manusia mengurangi nilai eksistensinay sebagai makhluk yang sempurna dan ini berarti hanya meninkatkan derajat “entropi” dirinya. Eksistensi dirinya sebagai makhluk “linuwih”nya Allah mengalami distorsi menuju derajat syetan atau derajat binatang bahkan bisa lebih hina lagi.
Dengan memahami keadaan sebenarnya manusia, maka kita juga diharapkan bisa memahami mengapa harus ada agama, para rosul yang harus diutus?. Allah telah menyebutkan dalam firman-Nya bahwa para rosul yang diutusnya berfungsi sebagai pengontrol perilaku manusia agar tetap di jalan yang lurus. Kebaradaan para rosul di dunia tidaklah selamanya, keberadaannya terabatas sebaas umur yang ditakdirkan. Agar sepeninggalnya manusia tidak mengalami “disoriented” maka para rosul diberikan wahyu yang bisa bertahan lama yakni kitab suci, salah satunnya al-Quran yang masih terjaga kesuciannya hingga saat ini. Al-Quran merupakan energi pembatas ( penyekat ) antara wilayah kebatilan dan wilayah haq.
Entropi dan keberadaan agama
Hukum kedua termodinamika lahir ketika manusia mencoba memanfaatkan seluruh energi yang disuplaikan ke dalam mesin agar bisa menghasilkan energi yang setara dengan energi yang diberikan ( q masuk = q keluar) dengan demikian manusia menginginkan efisiensi sepenuhnya ( 100 % ).
Era industri, pada abad ke-18, merupakan awal mula pemikiran tentang efisiensi kerja tersebut. Mesin- mesin yang diciptakan pada abad tersebut telah mengantarkan pada permasalahan baru yakni mesin yang bekerja secara siklik, artinya, akan kembali kekeadaan awal pada setiap gerakan terjadi proses yang benar-benar tak reversibel. Hal ini di karenakan uap yang didinginkan dan di buang dari silinder pada akhir gerakan. intinya, mesin mengambilenergi panas dari sumber panas, menggunakan sebagian energi ini untuk menghasilkan kerja yang berguna , kemudian membuang sisanya melalui sumber yang lebih dingin ( lingkungan ).energi yang hilang tadi tidak dapat diambil kembali oleh mesin. Sadi carnot, seorang perwira di korps insyiur angkatan darat Perancis di zaman napoleon, mencoba meningkatkan nilai efisiensi kerja mesin, membuat model funsi kerja dengan sebuah proses siklik yang di idelisasi daan sekarang dikenal dengan siklus karnot. Dia menyimpulkan bahwa kerugian energi yang dapat diambil lagi dari lingkungan tidak dapat dihiliangkan sepenuhnya, walaupun mesin tersebut dirancang dengan sangat baik. Bahkan sekalipun mesin tersebut bekerja dalam reversibel ( yang perpindahan beban luarnya terlalu lambat untuk kebutuhan praktis), efisiensinya tidak dapat melampui batas batas dasar yang dikenal sebagai efisiensi termodinamik. Dengan demikian, tidak ada nesin dengan efisiensi 100%.
Pernyataan diatas seharusnya jangan haya ditarik dalam ranah mesin semata karena bagaimanapun juga hukum-hukum dibidang sains mempunyai korelasi dengan ranah yang lain termasuk perilaku manusia. Masalah efisiensi, Allah sering menyninggung dalam al-Quran. Seperti Allah berkali-kali bersumpah( menyebut) kata-kata yang berkaitan dengan waktu. Waktu yang Allah berikan layaknya energi yang terdapat dalam variabelnya carnot. Waktu tidak dapat berjalan mundur sehingga memunculkan idiom “ waktu adalah pedang” jika tak bisa menggunakan dengan baik maka waktu hanya akan menyebabkan kerugian. Manusia tidak mungkin engunakan waktu yang 24 jam itu secara penuh untuk bekerja pastinya da waktu yang mengalir percuma sehingga bisa dikatakan manuispun tidak bisa mencapai efisiensi 100%.
Allah memulai surat al-Ashr dengan sumapah “wal ashr” ( demi masa), untuk membantah anggapan sebagian orang yang mempermasalhkan waktu dalam kegagalan mereka. Tidak ada yang dinamai masa sial atau mujur, karana yang berpengaruh adalah kebaikan dan keburukan seseorang. M. Quraish sihab dalam bukunya” wawasan al-Quran” menuliskan bahwa pengaruh baik dan buruk suatu pekerjaan bukan dikarenakan waktu karena waktu selalu bersifat netral.
Manusia memang lebih cenderung kepada niai ketidakterturan bila dibandingkan dengan sifat keteraturan. Agama yang Allah “ rahmatkan” kepada manuisia adalah suatu oembatas untuk mengisolasi ruang gerak manusia yang jika dibiarkan bisa menimbulkan derajat entropi yang tinggai dan ini berarti nilai ketidakterturan tinggi pula. Paham permisivisme merupakan usaha ceroboh manusia untuk membuka peluang nilai ketidakterturan yan semakin tinggi. Apalagi jika manusia benar-benar tidak menginginkan norma-norma yang mengatur perilakunya dan melupakan tuhan adalah usaha yang sangat bodoh..
Agama dan norma-nora yang lain ibaratnya suatu pembatas, manusia merupakan molekul-molekulnya dan ranah-ranah yang dikuasai manusia wujud dari sistem. Apabila agama dan norma-norma itu dilepaskan maka molekul-molekul akan bergerak bebas memenpati lebih banyak tempat lagi, ketidakterturan bertambah dan entropi muncul. Manusia bergerak acak, ngawur. Meningkatnya entropi berarti meningkatnya angka kriminalitas, kriminolog Paul kibuka pernah engingatkan, bahwa kejahatan yang berkembang mempunyai kaitan erat dengan pertumbuhan masyarakat yang ditandai oleh heteregonitas dan anomias, perubahan –perubahan sosial, persaingan, orientasi materialistik dan bangkitnya kecenderunga-kecenderungan menguatnya ambiguitas individualistik.
Anomitas yang mempunyai kesamaan arti dengan ketidakterturan. Anomitas ini tengah bermunculan di kehidupan masyarakat kiat, keusuhan, tawuran, perampokan, pemerkosaan, korupsi merupakan tanda bahwa masyarkat menuju ketidakterturan. Penyebabnya tak lain adalah masyarakat ini ulai mencabut pembatas yang menjadi pembeda antara yang baik dan yang buruk. Manusia sedang terjangkitai sikap permisive, asal hidup ini senag, norma-norma diterjang, sikap “wedi wirang wani mati” ( takut malu , berani mati) tinggal omong kosong. Jika masyarakat memang sudah tidak peka lagi kepada penyimpangan perilku anggotanya maka kita harus bersiap-siap muju nilai entropiyang sangat dahsyat yang ketidakterturan mencapai titik klimaksnay yaitu kiamat. Fenomena ini sesuai dengan hadist nabi yang berbunyi “ tidak akan terjadi hari kiamat hinggs Alllah mengangkat syariat-syariat-Nya dari dari penduduk bumi, maka tersisi di bumi itu mereka tidak mengenal yang ma’ruf dan tidak menginkari yang munkar”
Hari kiamat memang suatu kepastian akan tetapi usaha yang baik untuk manusia adalah mengendalikan derajat entropinya agar energi yang Allah berikan menjadi bermanfaat sebagaimana ungkapan QuraisSihab bahwa energi sifatnya netral yang tidak aldalah tujuan daripenggunaan energi tersebut, apakah betujuan ke surga atau neraka dan manusia berhak memilihnya sedangkan Allah mempunyai hak untuk mengganjarnya. Wa allahu a’lam bi showab...

telanjang

Telanjangmu

Jangan salahkan aku
Jangan pernah kau mengeluh aku menelanjangimu
Karena aku tahu kau memang inginkanya
Bahkan kau mengharap lebih

Kau hamburkan minyak atasku
Maka jangan harap akan padam
Aku ingin menelanjangimu
Sekali lagi kau memang mengharapkanya

Kau tertawa akan itu
Kau menangis akan itu

Aku tertawa akan itu
Aku….aku….telanjang
Kaupun telanjang
Tertawa
Menangis
Tertawa bersama
Dalam telanjang

By : Hayyan

Telanjang, 02 Desember 2008

Selasa, 19 Agustus 2008

agama

Agama dan Penyakit Jiwa Masyarakat

Menyimak berita yang berkembang akhir-akhir ini hanya membuat hati kita merasa “miris” dan “trenyuh”. Bagaimana tidak! Semua berita yang kita terima tak lebih sebuah informasi yang tidak bergizi sekaligus tak menyehatkan mental masyarakat. Tetapi , berita yang kita terima adalah realita, yang disajikan bukanlah hal yang mengada-ada, merupakan potret perilaku masyarakat yang ada dilapangan.

Kasus pembunuhan, mutilasi, korupsi, perselingkuhan, penggelapan dana bantuan adalah penyakit jiwa masyarakat yang merebak ditengah-tengah kondisi sosial masyarakat yang carut marut. Seakan-akan pelaku kejahatan tersebut tdak lagi mempunyai sikap empati terhadap nasib sesama. Masyarakat lemah ditempatkan sebagai mangsa yang harus diterkam. Kalau kita cermati, perbuatan tersebut ujung ujungnya tidak lain adalah harta benda, bilamana nafsu dunawiyah dituruti tidak akan menemukan ujungnya,” meskipun manusia sudah memiliki lembah emas, dia (manusia) masih ingin memilki satu lembah emas lagi”, begitulah sabda Rosulullah S.A.W.

Masyarakat dewasa ini memang lagi dilanda sikit jiwa, mulai dari kalangan atas sampai strata masyarakat bawah ( grass root). Kondisi jiwa yang sakit ini tidak akan sembuh jika tidak ada kesadaran, dan inilah yang menjadi sinyal keadaan masyarakat bahwa masyarakat cenderung menjadi masyarakat yang resistan terhadap nasehat. Banyak nasehat maupun efek jera yang diterapkan oleh pemerintah baik melalui slogan (tulisan) maupun hukuman yang diekspos di media massa ternyata tak mempan untukmembunuh virus penyakit jiwa, malah sebaliknya, penyakit jiwa semakin merebak dengan format yang rapi. Menurut hemat penulis, perilaku asusila masyarakat tidak lain disebabkan oleh hilangnya sikap malu mayarakat, sifat malu yang oleh rosulullah ditempatkan sebagai kontrol diri, “Al haya’u khoiru kulluhu”, sebagai pertimbangan seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan, sehingga nabi pernah berkata, “ berbuatlah semaumu jika engkau sudah tidak mempunyai malu”, yang perlu digaris bawahi “malu” yang ditekankan nabi bukanlah malu permukaannya saja alias malu-malu kucing, karena sikap ‘malu malu kucing” hanya akan melahirkan perilaku” ing ngarep munduk-munduk sajake sopan tapi ing mburine keranjingan”. Malu disini adalah “malu fitrah”, yakni sikap malu yang dihembuskan Allah untuk mengontrol sikap ke-manusiaan-nya manusia agar tidak jatuh ke sikap hewaniyah meskipun wadagnya adalah organ manusia.

Selain sikap malu, nilai-nilai dari agama seharusnya lebih bisa mengontrol perilaku individu. Agama yang oleh sebagian orang ditampatkan sebagai alat untuk mempertahankan kohesi sosial sekaligus sabagai institusi kontrol paling utama dalam hubungan sosial. Agama yang dimaknai, yang tidak hanya dan seharusnya, sebagai “penyambung lidah” antara makhluk dengan kholik(hablu minna Allah) tetapi menempatkan agama sebagai alat pengikat antara kholik, makhluk dan alam. Dengan demikian bisa tercapainya keteraturan tauhid dan sosial yang harmoni.

Apalagi untuk bangsa indonesia yang notabenenya bangsa yang menjujung tinggi nilai-nilai ketuhanan, yang dibuktikan dengan adanya pengakuan bahwa bangsa Indonesia adalah makhluk beragama dan wajib memeluk agama yang sesuai dengan keyakinan serta kemantaban hati.

Semua konsep yang tertuang dalam pancasila dan undang-undang dasar seolah-olah terpatahkan dengan realita yang terjadi saat ini. Ironis memang, bangsa yang dikenal sebagai bangsa yang memegang teguh adab ketimuran ternyata bisa berubah menjadi bangsa barbar, menerkam sesama bangsa sendiri. Lalu kemanakah nilai-nilai “anggah-ungguh” ketimurannya saat ini? Serta dimana letak pengejawantahan nilai-nilai agama yang kita banggakan?. Seharusnya bangsa ini menjadi “uswatun hasanah” bagi bangsa lain, bukan sebaliknya, yang terus berkiblat pada bangsa lain yang minim dengan nilai-nilai kereligiusannya. Sikap imitasi terhadap perilaku bangsa lain akan menjadi pembenaran kata-kata mochtar Lubis bahwa kepribadian kita sudah terlalu lemah. Kita tiru kulit-kulit luar yang terlalu lemah kita tiru kulit-kulit luar yang mempesonakan.

Pertanyan selanjutnya, apakah bangsa ini sebetulnya adalah penganut liberalisme ketuhanan? Dimana agama hanya disimpan dalam masing-masing individu dan hanya mengenal agama jika hanya berada dalam tempat-tempat dan hari-hari besar agama, setelah itu agama digantungkan begitu saja, perlakuan ini tak lebih agama diperlakukan layaknya baju kedinasan yang hanya dipakai ditampat dan hari-hari tertentu.

Sudah saatnya kita harus mengubah sikap pandang terhadap fungsi agama demi tercapainya kehidupan yang “mawadah wa rohmah”. Apalagi ditengah-tengah kondisi masyrakat yang terjangkiti penyakit jiwa. Agama harus menjadi terapi yang bisa menyembuhkan sekaligus mencegah kambuhnya penyakit jiwa tersebut. Banyak sekali yang bisa kita ambil dari substansi agama untuk dijadikan “tombo ati”, salah satunya adalah solat.

Sholat sebagai terapi

Seperti yang difirmankan Allah S.W.T, “bacalah kitab yang telah diwahyukan kapadamu (Muhammad) dan laksanakanlah solat. Sesungguhnya solat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar”. Solat yang Allah tempatkan sebagai alat pertahanan diri terhadap perbuatan fahsya’ wa al mungkar bisa menjadi efektif jika dan hanya jika sebanding pemaknaan seseorang terhadap solatnya, apakah sebagai kewajiban ,paksaan, atau kebutuhan?.

Banyak buku-buku yang memaparkan dari fungsi solat. Semuanya mencoba menggali manfaat solat sebagai wahana penyehatan mental umat. Penyakit mental adalah penyakit yang tak terlihat tetapi dampaknya bisa kita rasakan. Penyakit jiwa adalah penyakit yang menyangkut mental diri seseorang maka cara penyembuhannya juga harus dilakukan sendiri bukan orang lain yang harus menyembuhkan.

Penyembuhan tidak cukup dilakukan sekali, apalagi penyakit mental, tetapi memerlukan sikap istiqomah dengan waktu-waktu tertentu. Oleh sebab itu dalam perintah solat tidak disebutkan bahwa solat dilaksanakan hanya sekali saja dalam seumur hidup melainkan semenjak manusia baliq hingga mendekati ajal. Mengapa solat dilaksanakan secara istiqomah?. Prof.Dr. H. Jalaluddin dalam bukunya “ psikologi agama” menuliskan bahwa,” agaknya cukup logis kalau setiap ajaran agama mewajibkan penganutnya untuk melaksanakan ajarannya secara rutin. Bentuk dan pelaksanaan ibadah agama, paling tidak akan ikut berpengaruh dalam menanamkan keluhuran budi yang pada puncaknya akan menimbulkan rasa sukses sebagai pengabdi Tuhan yang setia. Tindakan ibadah, yang silakukan secara istiqomah, setidak-tidaknya akan memberi rasa bahwa hidup menjadi lebih bermakna.

Selain diperintahkan berlaku istiqomah dalam solat, Allah menyuruh agar solat dilaksanakan dengan khusyu’,”katakanlah,’Tuhanku menyuruhku berlaku adil. Hadapkanlah wajahmu(kapada Allah) pada setiap solat, dan sembahlah Dia dengan mengikhlaskan ibadah semata-mata hanya kepada-Nya sebagaimana kamu diciptakan semula”. Pentingnya sikap khusyu’ dalam solat sehingga Allah melarang solat dalam keadaan mabuk( pikiran yang tidak fokus).

Dengan solat yang istiqomah dan khusyu’ ini diharapkan bisa memberikan efek terhadap kesehatan mental masyarakat, dan yang terpenting diperhatikan adalah sikap khusyu’ jangan hanya dilakukan dalam solat saja melainkan juga ditransformasikan dalam perilaku sehari-hari. Bukankah Allah mengancam terhadap orang-orang yang solat, yang solatnya tidak menjiwai perilakunyanya dalam kehidupan sosial?. Wa Allahu a’lam.

Khoirul Anwar

Selasa, 20 Mei 2008

Moral dan Agama

Membangun Moral diabad Global

if religion without morality lacks a solid earth to walk on, morality without religion lacks a wide heaven to breath in”.(Jika agama tanpa moralitas, kekurangan tanah untuk berjalan diatasnya, jika moralitas tanpa agama, kekurangan surga langit untuk bernafas).

Kata-kata Prof. John Oman yang di kutip oleh Dr. Faisal Ismail diatas mengajak kepada kita untuk menilik kembali terhadap pandangan kita yang selama ini kita pegang khususnya dalam hal memperbincangkan dalam kemajuan suatu bangsa.Kemajuan suatu bangsa tak hanya di ukur melalui patokan kemajuan teknologinya dan GNP nya semata tetapi juga harus dilihat kelakuan masyarakatnya seperti yang tertulis dalam syairnya Ahmad Syangu, “sesungguhnya ini suatu bangsa terletak pada akhlaknya, jika akhlak mereka bejat hancurlah bangsa itu”.

Kemajuan terknologi di segala bidang memang telah mempermudah kerja manusia tetapi jika tak ada control, kemajuan teknologi malah menyeret masyarakatnya kedalam berbagai jebakan krisis seperti krisis kejiwaan, krisis ekologi, krisis kejujuran dan masih banyak lagi. Dampaknya kini mulai muncul seperti kasus bunuh diri, membunuh bayi-bayi maupun gejala-gejala depresi berat yang menyelimuti masyarakat diabad global adalah tanda dari kehampaan jiwa masyaraka modern.

Di lain pihak, bahaya kerusakan alam semakin mengkuatirkan. Tanah longsor, banjir bandang, angin ribut, gempa bumi yang akhir-akhir ini marak terjadi di tanah air menambah “kengeluan” bangsa ini. Glogbal worming merupakan ancaman serius bagi segenap makhluk di muka bumi. Dalam kurun waktu seratus tahun terakhir suhu bumi akan meningkat 0.7 derajat celcius. Para ahli memprediksikan, jika tak ada upaya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, pada tahun 2100 suhu bumi akan meningkat hingga 0,8 derajat celcius. Padahal jika kenaikan suhu melebihi dua derajat celcius maka akan terjadi kepunahan banyak spesies dan ekosistem. Salah satu penyebab terjadi perubahan iklim global di Indonesia adalah kebakaran hutan dan lahan serta semakin rusaknya hutan akibat pembalakan liar.(Tempo, 30 april 2006)

Semua fenomena diatas semakin meyakinkan akan kebenaran firman Tuhan bahwa”Telah tampak kerusakan di dadarat dan di laut disebabkan oleh ulah tangan manusia”(Q.S ArRum:41).Kalu kita cermati seksama dari pengalaman hidup maupun kita kaji dari Al Qur’an bahwa kerusakan alam merupakan akibat kerakusan manusia yang tak arif dalam mengeksploitasi kekayan alam.Kerakusan adalah urusan moral yang tersimpan dalam sanubari masing-masing orang. Moral yang menjabat “chek and balance” telah mengalami kemerosotan yang menyebabkan penodaan terhadap harkat kemanusiaan (human dignity) sehingga pemiliknya terperosok sebagai budak penyembah nafsu.Walau kita tahu bahwa abad ini adalah abadnya orang-orang pintar tetapi kehidupanya jauh dari tanda-tanda orang berilmu. Mengapa demikian? Allah menjawabnya ,”Pernahkah engkau melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhanya. Allah memberi sesat dengan ilmumya dan Allah telah mengunci pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutup atas kepalanya itu. (Q.S AL Jatsiyah:23)
Sebab utama merosotnya moral adalah hilangnya keyakinan (iman) terhadap Tuhan, hari akhir dan balasan surga-neraka. Agama yang telah di berikan Tuhan sebagai pembimbing di tinggalkan begitu saja, sehingga norma-norma yang mengatur perilaku manusia dilupakan. Dosa telah dianggap ringan dan hal yang biasa, Tuhan hanyalah cerita tahayul dan dianggap sebagai sosok yang di gunakan untuk menakut-nakuti anak kecil belaka. Hingga timbullah pandangan bahwa takkan ada lagi kehidupan sesudah mati, tak ada lagi balasan surga neraka, seperti yang dikatakan Klein, “dengan membebaskan diri dari rasa takut terhadap ancaman neraka, maka lepas pula harapan akan kenikmatan surga, orang hidup,mati, dan selesailah sudah”.Pernyatan itu di tepis Allah, “Dan mereka berkata “tak ada kehidupan lain, melainkan kehidupan di muka bumi ini. Kita mati dan hidup tidak ada yang memusnahkan melainkan waktu. Sesungguhnya mereka tidak tahu tentang hal itu, mereka hanya menduga-duga saja”.

Lalu bagaimana kita menyelamatkan moral kita yang selama ini tercecer di lembah hiruk pikuknya nafsu sekaligus mengembalikan “tuhan” kita Yang telah kita “hilangkan” tersebut ? jawabannya adalah seperti yang telah di katakana Prof.Jaques Barzun, “restore god to the fullness of his reality” (kembalikan Tuahan kepada kedudukanNya yang sesungguahnya).Dengan mengacu pada ucapan jaques berarti kita harus menghadirkan Tuhan dalam segala hal dalam menampaki proses kehidupan kita, menghadirkan hakikat tuhan bahwa Dialah sbagai inspirasi atau patokan moral hidup.
Kalau memang “tuhan” harus hadir dalam segala dimensi kehidupan ini maka salah satu jalan yang harus di tempuh adalah membentangkan agama sebagai jalan bagi kita untuk lebih dekat atau lebih mengena rasa ketuhanan kita,.Mengapa harus agama yang kita pilih sebagi salah satu cara bagi kita untuk menghadirkan tuhan atau sumber moral kita ?.

Memperbincangkan masalah sumber moral yang sesuai dengan perilaku manusia sekaligus tak pernah kering adalah agama sebagai jawabannya, karena agama merupakan jalan penyampaian moral tuan yang di turankan kepada makhluknya.Moral yang bersumber dari agama akan menjadi kuat dan tahan terhadap berbagai benturan zaman sehingga agama akan tetap memposisikan “manusia sebagai manusia”.

Adalah pasti bahwa agama islam merupakan sumber nilai-nilai moral islam. Nilai moral dalam islam sangat di junjung tinggi dan ditempatkan pada kursi agung.Karena moral merupakan elemen penting dalam membentuk peradaban. Nabi Muhammad di utus kedunia tak sebatas menyampaikan risalah ketauhidan semata melainkan menyampaikan pesan-pesan moral yang hasanah.(“tiadalah Kami mengutus kamu(Muhammad)melainkan bagi rahmat semesta alam. Aku di utus untuk menyempurnakan akhlak manusia.)

Jelaslah bahwasannya misi Muhammad tidak sekedar mengajarkan ritual-ritual ibadah, do’a atau menyuruh jihad, melainkan sebuah misi yang sangat mulia yakni menghijrahkan manusia dari kesesatan menuju kebenararan ,dari sifat barbarisme menuju sikap tawadhu’, dari sikap rakus menuju sikap qona’ah dan ikhlas. Menjadikan manusia kembali kefitrohnya yang di ridoi Tuhan.

Moral islam menekankan aspek penyucian hati karena pada hakekatnya hati merupakan pusat inspirasi dan motivasi akal untuk melaksanakan atau tidak melaksanakan terhadap sesuatu hal yang akhirnya melahirkan suatu pandangan (persepsi). Manusia yang pandangan hidupnya tidak jelas atau mengambang maka cenderung perilakunya pun nampak amburadul dan bingung. Keyakinan yang tidak mantap akan melahirkan sosok-sosok manusia kelas rendah, munafik, pragmatis, hedonis dan sekule. (Dr. Muhammad Tholib, Melacak kekafiran berfikir).

Hal ini pernah terjadi pada bangsa arab saat islam belum datang .Arab jahiliyah kebanyakan kaum pengembara badui yang hidupnya nomaden, memiliki jiwa yang kasar, kering dari “air ketauhidan”, suka merampok, tak tahu halal haram, hanya berorientasi pada kesenangan yang sekejap sehingga alqu’an mengatakan orang-orang ini munafik dan tak bertuhan.

Tetapi setelah islam datang keadaan berubah, mereka menjadi santun, terbimbing kejalan yang benar dan ditinggikan kedudukannya yang semula bersifat hewaniyah kepada kedudukan yang mulia.

Itulah islam yang lebih mengedepankan pembentukan moral di banding dengan hal lain. Karena kita tahu bahwa moral merupakan penentu”warna” peradaban manusia. Jika bangsa yang besar, maju dalam bidang keduniaan saja tetapi moral bangsanya amburadul maka sudah dapat di pastikan bangsa itu akan segera runtuh
.
Islam di datangkan untuk memperbaiki peradaban manusia oleh karena itu islam adalah agama peradaban dan tak menentang peradaban suatu bangsa manapun selama peradaban itu memberi manfaat kepada manusia dan mengangkat harkat, martabat manusia. Namun jika peradaban itu ternyata tak sesuai dengan fitroh manusia dan mendehumanisasi, maka islam akan melawan ,karens islam adalah agama perlawanan.Wa Allahua’lam.

Khoirul anwar



Bergabunglah dengan orang-orang yang berwawasan, di bidang Anda di Yahoo! Answers

Rabu, 14 Mei 2008

wanita abad global

Perempuan dalam Bingkai Budaya Global

Membicarakan masalah perempuan bak membicarakan nikmat Tuhan,yang takkan pernah habis untuk ditulis.Perempuan ibarat magnet yang menyedot semua daya kreatif untuk menunjukkan semacam daya keheroan. Lirikannya, diamnya, senyumnya, gaya bicaranya, selera makannya mengundang laki-laki bahkan kaum perempuan sendiri,untuk membicarakannya.

Tidak bisa dipungkiri, keberadaan kaum perempuan telah dan akan selalu memberikan warna bagi peradaban umat. Hal ini bisa di lihat dari banyaknya literatur yang menghiasi halamannya,adalah soal perempuan. Ayat-ayat suci agama dan karya-karya sastra zaman dahulu tak lepas untuk ikut serta membicarakan masalah perempuan meskipun isinya ada yang menempatkan perempuan dalam kendali laki-laki atau menempatkannya sebagai “hiasan” dunia. Semuanya mempresentasikan bagaimana urgennya keberadaan perempuan dalam kehidupan dunia ini.

Seiring bergulirnya waktu, dimana zaman mengalami perubahan dan memaksa terhadap setiap individu-individu untuk menunjukkan jatidiri dan peranan sosial masing-masing. Maka perempuan pun , mau tak mau, harus menunjukkan peranannya dalam kehidupan masyarakat.Mereka harus menghapus stereotip masyarakat yang menjustifikasi mereka sebagai “konco wingking” apalagi Cuma sebagai kaum yang Cuma kerjanya “olah-olah, umbah-umbah,mengkurep-mlumah, momong bocah (masak, mencuci, seks, dan ngurus anak). Pandangan ini perlu segera diluruskan, bahwa mereka bukanlah kaum “babu” yang Cuma bisa “sendiko dawuh’ terhadap kaum laki-laki.Kaum perempuan juga punya kesempatan untuk menunjukkan kehebatan sosial mereka.

Realita telah menunjukkan dunia perempuan sekarang ini tidaklah seperti dahulu lagi. Emansipasi tang diperjuangkan sudah terwujud, setidaknya, bahkan keberadaan peranan sosialnya telah menggeser peranan kaum laki-laki. Halaman media massa, iklan TV, gambar baliho kebanyakan menampilkan sosok perempuan dibanding kaum adam. Begitu juga barang yang diiklankan, kebanyakan barang yang dikonsumsi kaum hawa.meskipun demikian kita juga harus waspada dengan gencarnya iklan –iklan yang menampilkan sosok kaum perempuan, jangan jadikan kaum perempuan Cuma jadi penarik daya beli konsumen jika ini yang terjadi berarti perempuan masih terkukung dalam stereotip bahwa kaum perempuan memang Cuma “hiasan” semata.

Kebehasilan perjuangan hak perempuan sebetulnya tak lepas dari keberadaan media massa karena media massa, yang menurut Alfin Tofler, merupakan alat yangmendukung terhadap perubahan wajah dunia (info sphere ).Media massa berperan sebagai alat”gethok-tular” antar masyarakat sehingga terjadi “sambung-roso” anatara laki-laki dan perempuan.Dari sinilah timbul kesadaran akan keberadaan dan peranan kaumperempuan bahwa ditengah kehidupan ini memang sling membutuhkan dan saling melengkapi.

Disisi lain, dengan bebasnya arus informasi yang bisa di akses menjadikan keberadaan kaum perempuan terkutub.Sebagaimana yang ditulis oleh Gilang Desti Parahita dan Ahmad Sidqi, pada satu pihak wanita menginginkam emansipasi tetapi mereka lebih suka melakoni kodratnya “tugas utama perempuan adalah mengurus rumah tangga……tapi, sebagai perempuan, dari pada kerja diluar lebih baik bekerja dirumah saja, untuk menjaga perempuan dan menghindari ihtilat laki-laki”ungkap alifa , seorang nara sumber dalam bukunya Ahmad Sidqi “Sepotong Kebenaran milik Alifa”

Di satu pihak, wanita cenderung menjadi hedonis.Tidak ada lagi sekat yang membatasi antara perempuan dan laki-laki dan mereka menjadi pemuja budaya modern (baca tren baru) baik dunia mode, maupun life style lainnya.Inilah pengaruh budaya global yang notabenenya mempersilahkan “monggo kerso” kepada manusia untuk memilih atau menolaknya, yang jelas, budaya global sudah merambah diseluruh dunia dan merubah tatanan budaya lokal

Yang harus diperhatikan

Dalam suratnya yang ditujukan kepada Dr.Adriani, 5 juli 1903, R.A Kartini menulis” saya seringkali memohon kepada Tuhan , semoga kami tidak akan mengecewakan kepercayaannya kepada kami, dan semoga ia selalu mendapatkan pada kami apa yang di cari, dan diperlukan. Kami mersa bahagia mengenai para pemuda kita, dengan jiwanya yang muda, murni dan menyala-nyala. Semoga idealisme yang murni itu tidak dirusak oleh hidup”

R.A kartini menginginkan emansipasi yang tidak merendahkan martabat kaum perempuan sendiri. Jangan sampai emansipasi yang mulia itu melunturkan martabat perempuan hanya gara-gara polah tingkah yang kebablasan.

Emansipasi hendaknya diikuti sifat wanita yang”suci ati, suci rupi, suci uni”. Ketiga sifat inilah ysng seharusnya menyertai perjuangan kaum perempuan agar haknya memang pantas untuk diterima oleh masyarakat luas.dengan demikian emansipasi bisa melahirkan perempuan yang “STRINARISWARI” yakni wanita yang mampu mengangkat martabat kelurga, masyarakat dan bangsanya. Semoga

Khoirul Anwar

pendidikan kita

QUO VADIS PENDIDIKANBANGSA ?


Dalam Undang-Undang dasar 1945 pasal 31 ayat 1 menyebutkan bahwa rakyat Indonesia berhak mendapatkan kesempatan yang sama untuk menikmati pendidikan yang ada, tanpa keculai dan ada rasa diskriminasi. Hal ini merupakan wujud pengenjawantahan dari “mencerdaskan kehidupan bangsa”.Jika kita menilik dalam UU SISDIKNAS No.20 tahun 2003, pendidikan yang mencerdaskan ini adalah usaha sadar untuk mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki oleh segenap bangsa dengan spiritual, akhlak mulia serta ketrampilan yang “mampuni”, sehingga, bisa di harapkan “pendidikan” ini bisa melahirkan rakyat yang tidak hanya sekedar menambah angka pengangguran semata.

Kita semua bangga dan berharap penuh terhadap cita-cita mulia dari UU SISDIKNAS tersebut. Akan tetapi realitas dilapangan membuat kita menjerit histeris karena antara realita dengan idealitas cita-cita sangatlah bertolak belakang ,setidaknya. Pendidikan di Indonesia boleh dikatakan memasuki ruang “gelap”, bingung mencari format yang ideal untuk memutuskan problema yang mendera bangsa saat ini. “Kebingungan” ini tak sekedar di “atas kertas” melainkan juga bingung di relitasnya.Masalah-masalah “akut” terus menggerogoti tubuh pendidikan saat ini.

Persoalan tersebut antara lain, seperti yang baru saja terjadi, yakni ujian nasional. Dalam perturan pemerintah nomor 19 tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan, ujian merupakan sebuah aktivitas untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik sebagai pengakuan prestasi belajar dan / atau penyelesaian suatu satuan pendidikan. Dari definisi versi PP tersebut kemudian menjelma dengan adanya ujian nasional.Ujian nasional ini merupakan penilaian hasil belajar oleh pemerintah yang bertujuan untuk acuan dalam pemetaan program, dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya, penentuan kelulusan serta pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan.

Yang perlu kita pertanyakan , sebagai evaluasi untuk pemerintah, apakah dengan adanya UNAS tersebut mutu pendidikan bisa membaik kualitasnya serta betulkah pemerintah memperhatikn sarana dan prasarana bagi daerah yang hasilnya ujiannya “jeblok” ?. Karena kalau klita lihat, ujian nasional telah “bertiwi krama”, berubah menjadi system yang menakutkan bagi seluruh komponen pendidikan. Ujian nasional yang semula sebagai wujud pengakuan prestasi belajar berubah menjadi “hakim” yang “memvonis”dengan angka-angka. Sehingga dalam prosesnya banyak kecurangan seperti: pembocoran soal, memberikan jawaban, dan yang lainnya,. Hal ini sudah menjadi rahasia umum, mengapa hal ini terjadi? Karena ujian nasional adalah “algojo”!. Banyak kalangan satuan pendidikan yang belum siap mental, serta rasa malu yang negative telah berurat akar dalam jiwa mereka. Mereka menjadi malu jika anak buahnya banyak yang tidak lulus, apalagi dicap menjadi daerah yang terbelakang. Sehingga jalan yang di tempuh adalah menghalalkan segala cara asalkan stigma tersebut tak melekat di instasinya. Ironisnya, daerah yang banyak siswanya tidak lulus, tidak ada peningkatan mutu sarana maupun prasarananya untuk mengejar ketertinggalannya dan janji pemmerintah yang mengatakan bahwa hasil ujian nasional digunakan sebagai pemetaan dan pemberian bantuan hanyalah sebatas retorika belaka.

Di sisi lain, jenjang pendidikan yang semakin hari semakin sulit diakses oleh masyarakat kelas menengah kebawah akibat karena semakin mahalnya biaya pendidikan.Pintar menjadi barang mahal di negeri ini. Mau pintar kok mahal ?. “jer basuki mawa bea” pepatah jawa mengatakan demikian.Ini benar. Akan tetapi kita harus melihat keaadan masyarakat bangsa ini , rakyat masih banyak yang hidup dalam kubangan kemiskinan dan mereka telah banyak mengeluarkan bea demi meraih “jer basuki”, jer kelangsungan hidup. Sedangkan pepatah ini dijadikan jargon untuk melegalkan kerakusan.

Banyaknya jenjang pendidikan, yang seolah-olah setiap usia ada sekolahnya, perlu dipertanyakan pula. Betulkah dengan banyaknya jenjang tersebut benar-benar bertujuan mncerdaskan bangsa ini?ataukah hanya semata mencari uang ?. dunia pendidikan bangsa dewasa ini telah mengalami pergeseran, institusi pendidikan berubah menjadi industri-industri dan pasar modal alias dijadikan lahan bisnis. .Privatisasi merupakan potret bahawa Negara ingin lepas tangan dari tanggung jawabnya. Maka janganlah heran jika ada kasus “jual beli” bangku, sumbangan “tetek bengek” lainnya.

Disamping mahalnya biaya pendidikan ternyata mutu pendidikan pun tak mengalami kemajuan yang berarti. Setiap tahun institusi pendidikan melahirkan para intelek baru tetapi mereka pun dilahirkan hanya menjadi penganggur saja dan tidak sanggup menciptakan atau setidaknya mengurangi problem bangsa ini..Saat terjun di tengah-tengah masyarkat mereka menjadi canggung alias menjadi manusia asing, merasa bahwa dirinya orang aneh ditengah-tengah hiruk pikuk masyarakat. Padahal di institusinya mereka juga diajarkan ilmu kemasyarakatan, apakah ini merupakan efek dari kesalahan kita yang menganggap sekolah hanyalah mencari angka-nagka dan selambar ijasah maupun gelar?

Kita harus memahami arti pendidikan. Kita perlu menengok filsafat dari pendidikan itu sendiri, sebetulnya pendidikan itu dimaksudkan untuk apa?.pendidikan bangsa ini harus segera diluruskan kembali yakni bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa yang mempunyai jiwa ,rasa serta karsa yang handal sehingga jika mereka kembali hidup kembali ditengah masyarakat mereka tidak menjadi manusia asing.